Kemarin saya cukup tercenung membaca pesan sbb:
Dicari fotografer freelance untuk memotret 1000 item produk dengan nilai bayaran Rp 9.000.000
Photoshop foto juga diharuskan dalam pekerjaan ini.
Nilai uang 9 juta rupiah lumayan besar. Tapi jika dibagi menjadi 1000 jepretan foto plus harus ada pengerjaan merapihkan di postpro ini kan sama artinya nilai tiap foto Rp. 9.000 doang? Hah?
Bahkan bayaran keneknya tukang batu yang membangun rumah saja sudah sekitar Rp.50.000 per hari, tukang utamanya dibayar sekitar Rp 100.000 per hari lebih. Hati rasanya langsung ngenes. Dan fotografer yang minat mengerjakan proyek ini lumayan banyak, mungkin berebut... tambah ngenes. Foto produk termasuk dalam kategori "foto komersial". Dia termasuk tinggi bayarannya jika diluar negeri sana. Tentu saja harga mengikuti dengan pernik lainnya seperti konsep, penataan teknikal yang rumit, ada wardobe, model, studio, makeup artist, asisten, dstnya.
Bisnis fotografi yang paling mengesalkan dinegara ini ada dua point:
Pertama: persaingan kejam membuat banting bantingan harga sampai dinilai yang sangat rendah. Seperti contoh diatas, bahkan nilai per fotonya kalah dengan upah membayar keneknya tukang batu (kuli). Fotografer sendirilah yang membuat harga jatuh didasar, mereka tidak mengembangkan sikap "proud", bangga dengan profesinya. Antara anak kemarin sore dan fotografer dengan jam terbang lumayan tinggi tidak ada batasnya. Anak ingusan bisa bawa DSLR canggih dengan alat macam macam lantas merebut proyek kerja dengan nilai rendah semacam ini.
Kedua: klien banyak yang tidak punya sikap respek menghargai skill ini. Bahkan mungkin tidak paham bagaimana parameter menaksir harga menyewa fotografer. Nilai 9000 perak doang itu ibarat hanya minum air putih saja, artinya si fotografer hanya memencet tombol kamera, and thats all, gak ada nilai tambahan lainnya. Untuk 9000 perak, produk itu hanya digeletakan dilantai, difoto standar saja, framing yg tepat, dan selesai,... cuma itu hasil foto dikerjakan. Tidak ada penataan artistik, tidak ada lampu, tidak ada effort teknikal lainnya, dan tidak ada postpro untuk touch up foto, tidak ada macem macem.
Menyedihkan.
Sebagai pembanding kantor berita asing di Jakarta tahun 1995 membayar satu lembar foto jurnalistik seharga Rp 250.000 sampai 500.000. Jika fotonya eksklusif maka jadi lebih mahal bisa Rp 1 atau 2 juta an. Media asing lainnya ada yang membayar upah kerja perhari sekitar $30 US sampai $100 US ditahun 1995 an untuk fotojurnalis lokal dan juga fixer atau camera person. Media memegang hak siarnya, lalu fotografer memegang copyrightnya. Sedangkan foto komersial memakai kamera medium format 6x7 dengan slide ditahun 90an sudah dihargai 1 juta perak sampai 5 jutaan lebih, foto sesi pakai lighting set 3 buah (itu tanpa model, make up, biaya set). Nah jika dibandingkan dengan proyek diatas per lembar Rp 9 ribu, apakah ini juga termasuk copyright nya harus diserahkan juga kepada klien? Apa gak rugi coba?
Sejak tahun 1995 sampai 2015 seharusnya secara logis ada kenaikan harga menyesuaikan dengan inflasi dll. Tapi ini kok malahan terjungkal telak setelaknya dibawah upah standar nasional? Ini jelas salah dan sangat memilukan. *** hsgautama.blogspot.com
Dicari fotografer freelance untuk memotret 1000 item produk dengan nilai bayaran Rp 9.000.000
Photoshop foto juga diharuskan dalam pekerjaan ini.
Nilai uang 9 juta rupiah lumayan besar. Tapi jika dibagi menjadi 1000 jepretan foto plus harus ada pengerjaan merapihkan di postpro ini kan sama artinya nilai tiap foto Rp. 9.000 doang? Hah?
Bahkan bayaran keneknya tukang batu yang membangun rumah saja sudah sekitar Rp.50.000 per hari, tukang utamanya dibayar sekitar Rp 100.000 per hari lebih. Hati rasanya langsung ngenes. Dan fotografer yang minat mengerjakan proyek ini lumayan banyak, mungkin berebut... tambah ngenes. Foto produk termasuk dalam kategori "foto komersial". Dia termasuk tinggi bayarannya jika diluar negeri sana. Tentu saja harga mengikuti dengan pernik lainnya seperti konsep, penataan teknikal yang rumit, ada wardobe, model, studio, makeup artist, asisten, dstnya.
Bisnis fotografi yang paling mengesalkan dinegara ini ada dua point:
Pertama: persaingan kejam membuat banting bantingan harga sampai dinilai yang sangat rendah. Seperti contoh diatas, bahkan nilai per fotonya kalah dengan upah membayar keneknya tukang batu (kuli). Fotografer sendirilah yang membuat harga jatuh didasar, mereka tidak mengembangkan sikap "proud", bangga dengan profesinya. Antara anak kemarin sore dan fotografer dengan jam terbang lumayan tinggi tidak ada batasnya. Anak ingusan bisa bawa DSLR canggih dengan alat macam macam lantas merebut proyek kerja dengan nilai rendah semacam ini.
Kedua: klien banyak yang tidak punya sikap respek menghargai skill ini. Bahkan mungkin tidak paham bagaimana parameter menaksir harga menyewa fotografer. Nilai 9000 perak doang itu ibarat hanya minum air putih saja, artinya si fotografer hanya memencet tombol kamera, and thats all, gak ada nilai tambahan lainnya. Untuk 9000 perak, produk itu hanya digeletakan dilantai, difoto standar saja, framing yg tepat, dan selesai,... cuma itu hasil foto dikerjakan. Tidak ada penataan artistik, tidak ada lampu, tidak ada effort teknikal lainnya, dan tidak ada postpro untuk touch up foto, tidak ada macem macem.
Menyedihkan.
Sebagai pembanding kantor berita asing di Jakarta tahun 1995 membayar satu lembar foto jurnalistik seharga Rp 250.000 sampai 500.000. Jika fotonya eksklusif maka jadi lebih mahal bisa Rp 1 atau 2 juta an. Media asing lainnya ada yang membayar upah kerja perhari sekitar $30 US sampai $100 US ditahun 1995 an untuk fotojurnalis lokal dan juga fixer atau camera person. Media memegang hak siarnya, lalu fotografer memegang copyrightnya. Sedangkan foto komersial memakai kamera medium format 6x7 dengan slide ditahun 90an sudah dihargai 1 juta perak sampai 5 jutaan lebih, foto sesi pakai lighting set 3 buah (itu tanpa model, make up, biaya set). Nah jika dibandingkan dengan proyek diatas per lembar Rp 9 ribu, apakah ini juga termasuk copyright nya harus diserahkan juga kepada klien? Apa gak rugi coba?
Sejak tahun 1995 sampai 2015 seharusnya secara logis ada kenaikan harga menyesuaikan dengan inflasi dll. Tapi ini kok malahan terjungkal telak setelaknya dibawah upah standar nasional? Ini jelas salah dan sangat memilukan. *** hsgautama.blogspot.com
0 Response to "Fotografer: Bayaran selembar foto yang dihargai sangat rendah mengalahkan upah kuli tukang batu"
Posting Komentar