Brotodiningrat Bupati Somoroto IV |
Salah satu tokoh yang dimakamkan disini adalah Adipati Brotodiningrat, mantan Bupati Sumotoro ke 4. Bupati Brotodiningrat menurut cerita salah satu cucunya, dikenal sebagai manager (administratuur) yang bertangan dingin membereskan persoalan lokal diwilayah pemerintahannya. Belanda tidak suka dengan dia karena dia disebut menentang tanam paksa (termasuk Bapaknya) dan dicatat sebagai bupati yang digdaya sakti dan dipatuhi oleh para jagoan lokal (kelompok warok, gank centeng, klan lokal) disepanjang wilayah Ponorogo Madiun. Pengaruhnya yg kuat dikelompok lokal ditakuti memicu perlawanan terhadap penjajah. Namun, dia juga disukai karena brilian membereskan persoalan kelaparan, menumpas kejahatan lokal, dan mendongkrak ekonomi rakyat yang dimasa itu termasuk dijaman serba susah. Daerah Ponorogo Madiun tercatat pernah menyumbangkan individu tangguh melawan terhadap penjajah dan terlibat dalam perang Jawa yang panjang dan melelahkan. Wilayah ini bisa disebut kantong pemberontak dimata penguasa dijaman itu. Salah satu sejarahwan senior (alm) pernah menyebutkan bahwa Bupati Brotodiningrat adalah termasuk orang yang mendorong ide ekonomi pertanian kerakyatan melawan tanam paksa Belanda, dijaman itu ide ini termasuk radikal berbahaya. Karirnya sempat berpindah penugasan kewilayah lain, dia dipindahkan agar membereskan masalah lokal disana karena tangan dinginnya sebagai manager yang baik membereskan masalah ekonomi dan pangan. Pendek kata, dia dibenci dicurigai, tapi juga dibutuhkan. Namun disebutkan, hatinya tetap ingin menetap di Ponorogo saja. Bupati Brotodiningrat kemudian mempunyai anak, salah satunya adalah RM Harsojo Brotodiningrat (mantan Bupati Madiun) yang kemudian wafat dikuburkan bersama istrinya di Pesarean Pangeranan Gebang Blitar (pemakaman keluarga dari pihak istrinya yang merupakan cucu dari KP Warsokoesoemo Blitar dan RAA Nitiadiningrat ke 3 pasuruan).
Satu hal yang menarik, dikompleks makam Srandil ini selain dimakamkan Bupati Sumoroto, ternyata juga ada makam Warok Singomenggolo diarea dalam kompleks makam. Lalu disisi luar kompleks juga ada makam warok Potromenggolo. Keduanya cukup legendaris dan namanya sering dipakai sebagai imbuhan oleh grup reog Ponorogo modern hingga sekarang. Sayangnya tidak ada catatan sejarah tertulis mengenai ini, cuma ada sejarah lisan ditularkan dari mulut kemulut oleh penduduk disana. *** hsgautama.blogspot.com
-------------
Secara geneologis, Raden Mas Brotodiningrat Bupati Somoroto IV (foto diatas) ini masih ada keturunan darah raja-raja Madura, terutama dari pihak ibu, yaitu keturunan Sultan Bangkalan I. Sultan Bangkalan I memiliki anak yang bernama Raden Ayu Andajasmani yang menjadi permaisuri dari Sunan Pakubuwono IV raja Surakarta yang kemudian menurunkan Sunan Pakubuwono V. Sunan Pakubuwono V memiliki putra yang bernama Pangeran Sindusenan. Pangeran Sindusenan memiliki putri Raden Ayu yang kemudian menjadi istri dari Raden Mas Brotodirjo Bupati Somoroto III yang menurunkan Raden Mas Brotodiningrat.
Pada waktu ayahandanya Raden Mas Brotodirjo meninggal dunia pada tahun 1855, Raden Mas Brotodiningrat masih berumur 6 tahun. Oleh karena itu pemerintahan di Somoroto diwakilkan kepada patihnya, Raden Mas Sumoatmodjo (1855-1869). Baru pada tahun1869 beliau diangkat sebagai Bupati SomorotoIV sampai tahun 1877. Selama memerintah di Somoroto, tidak ada berita tentang pemerintahannya. Namun yang jelas sejak tahun 1877 Kabupaten Somoroto dihapus yang kemudian digabung dengan Kabupaten Ponorogo Kutho Tengah. Agar tidak terjadi gejolak, Raden Mas Brotodiningrat dialih tugaskan oleh pemerintah Belanda menjadi Bupati Ngawi, dan beberapa tahun kemudian dipindah menjadi Bupati Madiun. Selama beliau memerintah di Madiun beliau sangat memperhatikan kehidupan rakyatnya. Beliau berhasil menyelamatkan rakyatnya diambang kelaparan. Keberhasilan Bupati keturunan darah Madura tersebut dalam membela rakyatnya dari pihak Belanda mendapat perhatian dari berbagai pihak, terutama dari bupati-bupati yang ada di wilayah Karesidenan Madiun. Bahkan penguasa Kasunanan Surakarta Sunan Pakubuwono VII menganugerahi gelar “adipati” pada sang bupati, sehingga namanya menjadi Raden Mas Adipati Brotodiningrat. Beliau meninggal dunia pada 1927, jenazahnya dimakamkan di Pasarean Srandil.
Warok Potromenggolo disisi luar kompleks Srandil |
Pada tahun 1780, putra Raden Tumenggung Wirareja (adik dari Kanjeng Ratu Kencana) yang bernama Prawiradirja diperintahkan oleh Sunan Pakubuwono III untuk membuka (babat) daerah baru di sebelah barat Sungai Sekayu yang dikenal dengan Hutan Kasihan dan Hutan Sambirata untuk mendirikan kota baru. Disitulah ditemukan tempat yang datar / papan kang waroto wangun mbatok mengkurep (tempat yang datar dan berbentuk tempurung yang tengkurup) yang begitu baik untuk didirikan sebuah kota, oleh karena itu kedua hutan tersebut nantinya diberi nama Somoroto (Samarata). Yang akhirnya Prawiradirja diangkat sebagai bupati di daerah tersebut (Somoroto) dengan gelar Raden Mas Tumenggung Prawiradirja. Selain Prawiradirja, bupati-bupati yang pernah menjabat di Kabupaten Somoroto yaitu Raden Mas Tumenggung Sumonagoro, Raden Mas Brotodirjo, dan Raden Mas Brotodiningrat.
Bupati-bupati Somoroto yang meninggal, selanjutnya dimakamkan di Pasarean (Astana) Srandil yang terletak di Desa Srandil, Kecamatan Jambon atau 11 km ke arah barat Kota Ponorogo menuju Badegan. Pasarean Srandil merupakan kompleks atau himpunan kesatuan dari beberapa makam para keturunan Bupati Somoroto. Jika dibandingkan dengan makam-makam Islam yang ada di Nusantara, Pasarean Srandil termasuk pemakaman yang relatif muda usianya, yaitu dibangun pada abad ke-19. Namun ciri khas sebagai “makam Islam Nusantara” masih tetap melekat, seperti adanya pengaruh budaya asli bangsa Indonesia
budaya Hindhu maupun budaya lokal (Jawa). adanya pengaruh budaya Hindu Budha Jawa masih tetap melekat. Hal ini dapat diketahui dengan adanya kori agung yaitu gapura yang berpintu dan beratap sebagai pintu gerbang tempat keluar masuk makam dari halaman pertama menuju halaman kedua dan ketiga. Kori agung merupakan peninggalan budaya agama Hindu yang berfungsi sebagai pintu gerbang bangunan candi. Setelah Islam mulai berkembang, kori agung dijadikan sebagai pintu gerbang makam dan pintu gerbang masjid. Kori agung (gapura) pada Pasarean Srandil yang atapnya berbentuk “limasan” adalah bukti adanya pengaruh budaya lokal (Budaya Jawa), karena ”limasan” itu sendiri merupakan ciri khas bangunan rumah Jawa selain joglo dan serotong.
0 Response to "Mampir kepesarean Astana Srandil Sumoroto Ponorogo"
Posting Komentar